Oleh;
Ambrosius Markus Loho, M. Fil.
(Dosen Filsafat Universitas Katolik De La Salle Manado – Pegiat Filsafat-Budaya-Seni)
DUNIA sekarang ini sering dianggap telah sangat maju, karena majunya teknologi dan berbagai kemudahan yang bisa diperoleh subjek-manusia. Yang paling nyata dihadapan manusia adalah terpentasnya teknologi internet yang sejatinya terus menerus dikembangkan, dan tentu saja pengembangan bidang ini, bertujuan untuk mempermudah kerja dan memudahkan komunikasi antar manusia secara lebih produktif dan efisien.
Kita juga bisa menyaksikan dan bahkan mengalami bahwa kemajuan dan perkembangan internet saat ini, sudah sangat luas dan pesat, yang menyebabkan timbulnya globalisasi secara menyeluruh dan diterima di seluruh belahan dunia. Pada titik ini, teknologi seolah menjadi idola karena telah mendapatkan tempat ‘di hati’ setiap subjek. Pendek kata, fakta teknologi (baca: budaya internet) sebagaimana penulis uraikan di atas, secara jelas telah sangat membantu semua orang, karena kemudahan-kemudahan yang ‘diciptakan’nya itu.
Melampaui itu, kendati sedemikian maju dan berdampak bagi manusia, hal itu merupakan bagian erat dari apa yang dikenal dengan cyberculture.
Cyberculture atau budaya internet, telah tampak sangat membantu masyarakat terutama dalam hal berkomunikasi tanpa harus melakukan pertemuan langsung. Hal itu ditunjang oleh banyaknya aplikasi di media sosial yang mempermudah penggunanya untuk berkomunikasi satu dengan yang lain. (bdk. https://www.kompasiana.com).
Adanya berbagai aplikasi ini, tentu melahirkan sebuah situasi bahwa manusia dapat melakukan komunikasi jarak jauh dengan cepat maka dari itu, kita bisa berkesimpulkan bahwa manusia tidak bisa lepas dari budaya internet/cyberculture itu. Dan seirama dengan itu, menyebarnya internet, telah turut meningkatkan ketersediaan informasi serta kecepatan reproduksinya. Demikianlah kita tidak mengelak sebuah situasi bahwa internet itu telah mengubah cara orang untuk hidup dan berinteraksi.
Kendati demikian, hal tersebut diatas merupakan sebuah transformasi yang sementara terjadi. Lebih tepatnya, transformasi/perubahan itu sementara terjadi dalam bidang seperti: Interaksi antarpribadi, budaya kerja, hubungan dengan waktu, ekspektasi terhadap pekerjaan, termasuk kecepatan dan kenyamanan kehidupan yang berjejaring satu sama lain. (Bdk. https://www.encyclopedia.com)
Dari fakta ini, apa yang paling penting untuk didaku oleh setiap subjek? Hemat penulis, kata kunci yang perlu dan menjadi kunci utama adalah menumbuhkan sikap yang optimis terhadap dampak teknologi tersebut, sambil mendalami etika siber (cyberethics), untuk bisa melihat fenomena sosial budaya teknologi itu dan dampaknya bagi peradaban manusia.
Akhyar Lubis dalam risetnya berjudul: “Memahami Budaya-Cyber, Sastra-Cyber dari Pemikiran Jean Baudrillard & Willian Gibson”, mengatakan bahwa ‘budaya syber’ atau budaya internet adalah budaya yang lahir karena interaksi masyarakat dengan internet, selain itu, budaya siber itu adalah paradigma berpikir dan berintegrasi masyarakat malalui teknologi informasi.
Jadi karena demikian, kita tidak bisa menafikannya, kita juga tidak bisa menolaknya.
Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1992, Association for Computing Machinery (ACM) mengembangkan kode etik dan perilaku profesional bagi pekerja sistem komputer. Meskipun hal ini tidak diwajibkan, namun hal ini menjadi titik awal yang berguna bagi pemangku kepentingan lainnya dalam hal perilaku etis di dunia maya, dimana di dalamnya mencakup pemikiran untuk mengambil sikap terhadap praktik etika ketika berada dalam masalah keamanan siber yang sensitif.
Dengan memiliki seperangkat prinsip etika yang jelas ini, sangat membantu karena dapat memperjelas dan mempercepat pengambilan keputusan penting ketika terdapat ancaman siber yang semakin kompleks dan berkembang pesat.
Selanjutnya laman https://www.upguard.com/blog/cybersecurity-ethics mencatat bahwa kode etik ACM terdiri dari poin penting berikut ini:
Pertama, prinsip etika umum. Prinsip ini mewajibkan bahwa seorang profesional komputasi harus:
(a) menggunakan keterampilan mereka untuk memberikan manfaat bagi masyarakat dan kesejahteraan masyarakat, dan perhatikan bahwa setiap orang adalah pemangku kepentingan dalam komputasi,
(b) menghindari konsekuensi negatif dan tidak adil, dengan mengingat bahwa tindakan yang bertujuan baik dapat mengakibatkan kerugian yang kemudian harus dimitigasi,
(c) mengungkapkan sepenuhnya semua masalah komputasi terkait dan tidak salah menyajikan data sambil bersikap transparan tentang kemampuan mereka untuk melakukan tugas-tugas yang diperlukan,
(d) menunjukkan rasa hormat dan toleransi terhadap semua orang dan memberi penghargaan bagi pencipta sumber daya yang mereka gunakan,
(e) menghormati privasi serta menggunakan praktik keamanan siber terbaik, termasuk pembatasan data.
Kedua, tanggung jawab profesional, dengan tanggung jawab profesional dimaksudkan bahwa tenaga profesional komputasi harus:
(a) memprioritaskan layanan yang berkualitas tinggi, menjaga kompetensi dan praktik etis,
(b) meningkatkan kesadaran komputasi, dan melakukan tugas mereka dalam batas-batas yang diizinkan,
(c) berusaha keras untuk mencapai kualitas tinggi dalam proses maupun produk pekerjaan profesional,
(d) mempertahankan standar tinggi kompetensi profesional, perilaku, dan praktik etis,
(e) menerima dan memberikan tinjauan profesional yang sesuai dan memberikan evaluasi yang komprehensif serta menyeluruh kepada terhadap sistem komputer dan dampaknya, termasuk analisis risiko yang mungkin terjadi,
(f) menumbuhkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang komputasi, teknologi terkait, dan konsekuensinya,
(g) mengakses sumber daya komputasi dan komunikasi hanya jika diizinkan atau jika diwajibkan oleh kepentingan publik,
(h) merancang dan mengimplementasikan sistem yang kuat dan aman digunakan.
Akhirnya, kita mengetahui bahwa internet telah merambah seluruh kehidupan bukan hanya di dunia industri yang maju, tapi telah merasuki dunia industry yang sedang berkembang, karena kemudahan-kemudahan yang ada itu.
Adanya ledakan teknologi informasi ini disadari telah mengubah dinamika antara bisnis, sosial, dan etika.
Namun semaju apapun dinamika dunia siber yang dimaksud itu, yang senyatanya telah berdampak pada peradaban manusia, kewajiban utamanya adalah tidak mengabaikan etika siber yang berlaku dan termaktub dalam kode etik di atas.
Kiranya jelas bahwa etika siber harus menjadi penuntun peradaban demi sebuah dampak positif bagi peradaban itu sendiri. (***)