Oleh;
Ambrosius M. Loho, M. Fil.
(Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado-Pegiat Filsafat)
Di era modern saat ini, publik disuguhi bermacam-macam hal yang bisa dengan mudah diakses di dunia maya.
Kemudahan-kemudahan itu bukan tak beralasan. Sekurang-kurangnya tuntutan zaman ini, mengetengahkan sebuah ketrampilan yang cakap dalam hal kemampuan mengakses berbagai informasi yang terpentas, bahkan di berbagai platform media yang ada. Itu sebuah fakta yang menjadi alasan mengapa semua hal bisa diakses dengan mudah.
Sejalan dengan itu, terbukanya semua informasi untuk diakses tentu merupakan hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang semakin hari semakin berkembang pesat. Terhadap hal ini, dibutuhkan kecakapan untuk memilah dan memilih mana yang penting dan mana yang tidak demikian penting. Kendati demikian, semua hal yang bisa diakses tersebut, seiring perkembangan dunia dan peradaban, akan terus berlanjut seperti itu.
Maka dari itu, kita perlu memiliki ‘benteng’ terakhir agar kita/subjek, tidak menjadi terasing dari majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada.
Dari pengalaman penulis, dan berdasarkan apa yang ditekuni sampai saat ini, salah satu cara untuk membentengi diri adalah ‘berpikir kritis’.
Penulis yang dalam kurun waktu 6 tahun terakhir, menggeluti dunia filsafat, meyakini bahwa berpikir kritis itu penting, dan sangat diperlukan di era modern saat ini.
Namun demikian, keyakinan penulis tentang pentingnya berpikir kritis ini, selalu didasarkan pada hal penting berikut ini, yang merupakan dasar yang kuat, yakni: Mempelajari filsafat sebagai akar dari sebuah ilmu pengetahuan.
Sugiharto (2019) menegaskan bahwa filsafat bisa menjadi khazanah pemikiran setiap subjek, dan amat terlebih, filsafat bisa menjadi cara berpikir subjek yang paling mendasar. Dengan mempelajari pemikiran-pemikiran besar para filsuf, setiap subjek diyakini bisa berpikir mendalam dan mendasar secara rasional. (Bdk. (https://unpar.ac.id/kenal-lebih-dekat-prof-bambang-sugiharto-berpikir-kritis-dan-filsafat-budaya/).
Melampaui itu, dari pengalaman penulis juga, filsafat yang pada akhirnya bisa menjadi cara berpikir setiap subjek yang paling mendasar, secara jelas akan bermuara pada pembentukan cara berpikir kritis si subjek itu. Bahkan di negara modern, berpikir kritis, yang berfondasikan filsafat sebagai pola pikir yang mendalam, telah menjadi bagian erat mereka.
Fakta ini tentu mementaskan sebuah ketegasan bahwa perkembangan pesat dalam masyarakat global mewajibkan setiap subjek (masyarakat) memiliki pola pikir kritis/berpikir kritis.
Di sisi yang sama, di saat ini, ketika dunia telah menghadapi/memasuki peradaban Revolusi Industri 4.0, perubahan budaya/peradaban sangat terasa. Peradaban tersebut tentu harus dilihat dari berbagai sisi.
Kendati sedemikian berkembang pesat, kita harus menyadari bahwa di dalam masyarakat akan selalu terbentuk kelompok-kelompok yang terkebelakang karena belum siap menerima perubahan budaya/peradaban, tapi tentu ada juga kelompok yang dengan mudah dan sigap beradaptasi dengan peradaban yang baru itu.
Oleh karena dua fakta ini, yang ditimbulkan akibat dari perubahan budaya, yang melahirkan peradaban baru itu, dibutuhkan adalah cara-cara yang bijaksana untuk mengelola secara sehat semua proses pertumbuhan dari budaya lama menuju ke dalam budaya yang baru.
Dengan demikian, maka untuk bisa berjalan dalam budaya yang baru atau ‘bilanglah’ modern seperti sekarang ini, tentu dibutuhkan pola pikir kritis, sehingga semua hal yang baru, dan tentu saja yang lama, bisa dipilah dan dipilih oleh setiap subjek, sehingga dengan kapasitas pola pikir kritisnya, subjek bisa menentukan mana yang akan dijadikan patokan dalam menjalani realitas modern saat ini.
Sejalan dengan ini, perlulah kita menekankan sebuah poin penting ini: Bahwa setiap subjek yang akan memasuki dunia modern, harus merubah mentalitasnya ke tahap yang lebih tinggi, yang ditunjang kuat oleh pola pikir kritis. (https://unpar.ac.id/peradaban-yang-retak-dilema-manusia-indonesia-masa-kini/).
Akhirnya, sekurang-kurangnya beberapa kiat dalam berpikir kritis berikut ini, setidak-tidaknya dapat menjadi acuan.
Manusia adalah makhluk yang kompleks. Agar mampu berpikir kritis, harus memiliki kesadaran terhadap tujuan hidup. Meskipun berpikir kritis tampak sangat teoretis, kenyataannya hal tersebut adalah ilmu yang harus dipraktikkan. Dari situ, perlahan-lahan kita bisa menempatkan akal sehat (rasio) dan perasaan (emosi). Yang perlu dilakukan pertama kali untuk melatih kita berpikir kritis adalah refleksi diri. Refleksi diri diperlukan agar kita kembali lagi dengan tujuan hidup. Latihlah diri untuk berefleksi dengan mempertanyakan setiap tindakan yang dilakukan; apakah berdampak baik atau buruk? Menulis catatan kecil sebelum tidur juga merupakan salah satu upaya refleksi diri. Dengan menulis, kita akan mengevaluasi apa yang telah terjadi pada hari itu. Selain itu, kesadaran juga akan tercipta karena kita bisa melihat proses hidup melalui tulisan pada lembaran-lembaran kertas. (“Pentingnya Berpikir Kritis Sebagai Benteng Diri di Era Kini”, https://www.kompas.com.).***