Ironi Utang Penjajah yang Luput di Buku Pelajaran

oleh
Ilustrasi pendudukan Belanda di Indonesia di masa revolusi fisik.

Loading

Ilustrasi pendudukan Belanda di Indonesia di masa revolusi fisik.
Ilustrasi pendudukan Belanda di Indonesia di masa revolusi fisik.

MEDIAMANADO.COM – BERBAGAI cobaan harus dialami republik ini semenjak masih lahir, 17 Agustus 1945. Baik diusik kedatangan sekutu, hingga rongrongan Belanda, di mana mereka merasa bahwa Indonesia masih merupakan bagian dari negeri mereka yang bernama Nederlands-Indië atau Hindia Belanda.

Negeri kita yang dulu jadi koloni mereka, sempat lepas kala menyerah pada Jepang lewat Perjanjian Kalijati pada 8 Maret 1942. Tapi sejak Jepang jadi pihak yang kalah pada Perang Dunia II di Front Pasifik, Belanda meminta “hak” mereka lagi untuk kembali ke nusantara.

Tapi ketika datang bersama sekutu, Belanda harus melihat koloni mereka ternyata sudah menggelar proklamasi. Sesuatu yang tentunya enggan mereka akui. Singkat kata, meletuslah revolusi fisik 1945-1949.

Peringatan Hari Veteran Nasional Tahun 2015 di Jakarta, Selasa, (11 Agustus 2015). Dalam acara tersebut mereka mengkritisi perlakuan pemerintah terhadap Undang-Undang Dasar 1945. KORAN SINDO/YULIANTO

Dalam kurun waktu empat tahun itu, pecah Agresi I dan II serta beragam perjanjian. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun turun tangan. Aksi agresi Belanda banyak dikecam dunia internasional dan itu memaksa mereka mau duduk bersama dengan delegasi Indonesia di Den Haag.

Berkenannya Belanda duduk bersama dengan Indonesia dengan dimediasi PBB, terjadi pada 23 Agustus hingga 2 November 1949 yang kemudian, dikenal dengan Konferensi Meja Bundar (KMB). Konferensi inilah yang juga jadi titik penting republik yang akhirnya diakui Belanda.

15-10-1-b

Diakui kendati kedaulatan Indonesia, diakui dalam kerangka kemerdekaan Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949 – bukan 17 Agustus 1945 yang sebelumnya dicetuskan dalam Proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Butir-butir hasil KMB juga menyebutkan bahwa Belanda akan segera menarik pasukan mereka dan KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda, dibubarkan untuk kemudian dileburkan bersama TNI ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).

Sementara persoalan Irian Barat, akan diselesaikan secara berkelanjutan mulai setahun setelah KMB. Well, setidaknya itu yang biasa tergambar di buku-buku pelajaran sejarah di berbagai sekolah. Tapi ada satu “butir” hasil KMB yang ternyata terlewatkan.

Poin yang tak pernah dijelaskan dalam buku pelajaran itu, adalah persoalan Indonesia harus bayar utang kepada Belanda? Lho, utang apa?!

Ternyata Indonesia harus bayar utang kepada Belanda yang sudah mengeluarkan anggarannya untuk menggelar agresi atau aksi polisionil (menurut persepsi Belanda), sepanjang masa revolusi fisik 1945-1949!

15-10-1-d

Anggaran yang dikeluarkan Belanda, di mana dananya berasal dari Amerika Serikat (AS). Aliran dana dari Negeri Paman Sam dalam kerangka program bantuan Marshall Plan. Tentu ini jadi ironi tersendiri. Uang bantuan yang didapat Belanda dari AS untuk menembaki tentara republik dan rakyat sipil di Indonesia, dijadikan utang.

Utang sebagai imbalan pengakuan kedaulatan Indonesia. Pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 – bukan 17 Agustus 1945! Utang tersebut sekira berjumlah 4,5 miliar gulden. Indonesia pun setuju untuk memenuhinya dan itu bukan tanpa alasan.

“Saat itu dalam KMB, Indonesia yang dipimpin Mohammad) Hatta dalam perundingannya dengan Belanda terjadi deadlock (kebuntuan),” terang sejarawan Bonnie Triyana kepada Okezone, saat diskusi santai di kantornya di bilangan Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.

“Tuntutan pembayaran (utang) 4,5 miliar gulden itu kemudian akhirnya disetujui Hatta. Diyakini, saat itu yang penting diakui dulu (kedaulatan Indonesia). Utang itu baru lunas 2003 zamannya (Presiden) Megawati Soekarnoputri,” imbuh pemimpin redaksi Majalah Historia tersebut.

15-10-1-c

Mau tidak mau ya harus diakui, bahwa itulah “mahar” bagi Belanda, untuk melepas koloni berharga mereka di timur jauh. Setidaknya jika mereka harus melepas Hindia Belanda, mereka enggan merugi. Begitu yang disampaikan sejarawan Lambert Giebels, 16 tahun silam.

Indië verloren, betekende niet ramspoed geboren. (Hindia hilang, bukan berarti tiba bencana). Belanda masih bisa menarik keuntungan dari bekas jajahannya, meski jajahannya itu sudah lepas,” ungkap tulisan Giebels di De Indonesische Injectie atau Sumbangan Indonesia.

EDITOR : INYO RORIMPANDEY.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *