Tabrakan Pesawat di Zagreb dan Akhir dari Guillotine

oleh
Ilustrasi. (Foto: Wikipedia)

Loading

Ilustrasi. (Foto: Wikipedia)
Ilustrasi. (Foto: Wikipedia)

MEDIAMANADO.COM – SEBUAH peristiwa tragis yang menelan 176 korban jiwa terjadi 40 tahun lalu saat dua pesawat terbang komersial bertabrakan di langit Zagreb. Kejadian nahas ini diakibatkan adanya kesalahan komunikasi dari menara pengawas penerbangan.

Pada masa Perang Dingin, penerbangan antara Eropa dan negara-negara Timur dialihkan melalui rute tertentu untuk menghindari negara anggota blok Uni Soviet. Hal itu membuat Zagreb yang pada masa itu merupakan bagian dari negara non blok Yugoslavia menjadi salah satu wilayah dengan lalu lintas udara tersibuk di dunia.

Karena keterbatasan teknologi, para pengawas penerbangan di Zagreb mengandalkan pilot untuk mengirimkan posisi mereka agar bisa terpantau meskipun seharusnya hal ini bisa dilihat melalui radar. Dengan kondisi seperti ini ditambah dengan minimnya tenaga yang bekerja di menara pengawas Zagreb, satu kesalahan kecil saja dapat berujung menjadi bencana.

Pada 10 September 1976, pesawat British Airways penerbangan 476 meninggalkan Bandara Heathrow , London menuju Istanbul, Turki pada pukul 9.30 pagi. Saat pesawat Trident 3B berisikan 54 penumpang itu mencapai wilayah udara Jerman, sebuah pesawat maskapai Inex Charter bertolak dari Split, Yugoslavia menuju Cologne, Jerman dengan membawa 108 penumpang. Kedua pesawat tersebut melintasi wilayah udara Zagreb pada saat yang bersamaan.

Pesawat British Airways yang saat itu terbang ke arah matahari tidak dapat melihat pesawat DC-9 milik Inex Charter Airlines yang muncul di depannya. Percakapan Tasic dengan pilot maskapai Yugoslavia itu juga dilakukan dalam bahasa Kroasia sehingga tidak dapat dimengerti oleh pilot British Airways yang berbahasa Inggris.

Tak pelak, kokpit Trident menghantam sayap pesawat DC-9 dan seketika menewaskan pilot British Airways. Tabrakan ini mengakibatkan kedua pesawat jatuh berputar-putar dan hancur menghantam bumi menewaskan seluruh penumpang dan awaknya.

Petugas menara kontrol Zagreb saat itu adalah Gradimir Tasic, seorang pengawas muda yang telah bekerja 12 jam sehari selama tiga hari berturut-turut. Lelah, Tasic tidak ditemani oleh asistennya yang saat itu sedang tidak hadir. Kedua faktor inilah yang ikut berperan dalam tragedi yang kemudian terjadi. Pesawat British Airways yang saat itu terbang ke arah matahari tidak dapat melihat pesawat DC-9 milik Inex Charter Airlines yang muncul di depannya. Percakapan Tasic dengan pilot maskapai Yugoslavia itu juga dilakukan dalam bahasa Kroasia sehingga tidak dapat dimengerti oleh pilot British Airways yang berbahasa Inggris.

Tak pelak, kokpit Trident menghantam sayap pesawat DC-9 dan seketika menewaskan pilot British Airways. Tabrakan ini mengakibatkan kedua pesawat jatuh berputar-putar dan hancur menghantam bumi menewaskan seluruh penumpang dan awaknya. Setelah peristiwa tragis ini, penyelidikan menjatuhkan tuduhan kejahatan akibat kelalaian kepada lima orang pengawas penerbangan dan dua orang supervisor. Namun, hanya Tasic yang dibawa ke depan meja hijau. Dia diputus bersalah dan dihukum tujuh tahun penjara sebelum kemudian dibebaskan karena protes dan kecaman dari para pengawas penerbangan dunia.

Penggunaan Guillotine untuk Hukuman Mati Diakhiri

6. 9. 3. A.

Peristiwa bersejarah lain yang juga terjadi pada 10 September adalah dipancungnya Hamida Djandoubi pada 1977. Eksekusi atas buruh tani asal Tunisia itu menjadi catatan sejarah karena pada saat itulah guillotine terakhir kali digunakan dalam hukuman mati.

Alat pancung guillotine pertama kali dikenal pada masa Revolusi Prancis setelah dokter sekaligus pejuang revolusi bernama Joseph-Ignace Guillotin memenangkan bagian undang-undang yang mengharuskan semua hukuman mati dilakukan dengan mesin. Guillotin dan para pendukungnya berpendapat mesin pemancung yang sebelumnya pernah digunakan di Inggris dan Irlandia lebih manusiawi dibandingkan cara-cara eksekusi lainnya.

Mesin pemancung pertama Prancis dibuat dan diujicobakan pada mayat dan pada 25 April 1792, seorang perampok menjadi orang pertama yang dipancung menggunakan cara ini. Alat itu kemudian dikenal dengan nama guillotine dari nama pencetusnya dan digunakan dalam eksekusi lebih dari 10 ribu orang selama Revolusi Prancis termasuk Raja Louis XVI dan ratunya Marie Antoinette.

Usai revolusi, penggunaan guillotine masih terus berlanjut selama abad ke-19 dan 20 sampai eksekusi Hamida pada 1977. Empat tahun kemudian, pada September 1981, Prancis menghapuskan hukuman mati dan meninggalkan penggunaan guillotine untuk selamanya.

EDITOR : INYO RORIMPANDEY.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *